Langsung ke konten utama

Kucintai Bahasamu

Kucintai  Bahasamu
Akh…, Sederet kata baku itu mulai membuatku pusing bukan kepalang. Naskah yang sudah berbulan – bulan kususun rapi, berjibaku pada terik dan dini yang melelahkan tercoret tak bermakna. Pupus!!!! Letihku kian menjadi, bola mataku kian dalam dan kelopak mataku kian menghitam karena bergadang. Aku seolah tengah berada pada titik nol saat ini, dimana sudah tak ada lagi ide atau apalah yang seharusnya ada karena setidaknya hari ini harus fix dan besok pagi kami harus mengirim karya ilmiah yang sudah kurampungkan semenjak 3 bulan lalu, hanya saja tulisan ini terus saja mengganjalku. “Semuanya harus baku Anakda“. Ibu Animar dan pak Syamsul Wathoni selaku Pembina kepenulisan terus menggrayangiku dengan kata baku EYD.

            “Boulsit, aku tak peduli kata baku itu apalagi EYD berdasarkan KBBI“ gerutuku dalam hati. Otakku kian menegang karena semenjak pulang sekolah kemarin pukul 15.00 aku telah duduk didepan computer, mengalahkan lelah dan kantuk, belum lagi lolanya computer pentiumku kian menjadi. Seharusnya Beliau mengerti ini adalah batas kemampuanku. “Kalau memang gara-gara tata bahasa ia tak diterima, ya sudah “ desisku pasrah.
            “Baiq Dayu!“ panggil seseorang yang telah tepat disampingku, Ia melongok menengok mataku yang layu. Aku tak ingin siapapun menyapaku seperti aku hendak ingin makan orang.
            “Tiang!“ aku menyahut lalu menoleh pelan. Ia menatap sayu, menengok mata ini tepat mengarah pada bola mataku. “Akh kau, aku tengah letih” ringisku lalu mendorong wajah Andi ke atas.
            “Sandarkan bahumu di kepalaku” candanya meledek.
            Aku tersenyum kecut. “Aku tak lagi becanda Andi”
            “Akupun” ia mengeles.
            “Andi kau…” gerutukuku manja dan geram yang ingin meledak.
            “Gini Baiq, bukankah bahasa itu adalah komunikasi?” Andi membuka.
            “Ya, aku tau!”.
            “Lalu apa yang baiq pusingkan?”.
            “Tulisanku tak di terima-terima Andi, karena belum mengikuti aturan baku sekaligus belum sepenuhnya EYD”. Baiq Dayu mulai mencoba terbuka.
            “Nah, itu maksudku”.
            “Begini Baiq Dayu Januarini. Menurutku bahasa itu adalah komunikasi, yaitu kau mengerti maksudku, dan aku pahami maksudmu. Jadi, misalkan nih antara bahasa sasak dan bali itu sudah terbiasa dengan bahasa Tiang, Nggih, dan hampir seluruh orang Indonesia bahkan orang asing mengerti maksudnya, lalu apakah ia ketika sesekali kita pergunakan dalam forum resmi itu salah? Untuk apa menggunakan kata sebaku itu akan tetapi orang lain tak mengerti?, coba kamu lihat ketika presiden Barak Obama berkunjung ke Indonesia dalam keterkaitannya hubungan bilateral lalu ketika beliau dalam pidato resminya, apakah beliau juga seformal itu meski itu adalah kunjungan bilateral? Bukankah ia menyebut bakso, sate, atau apalah yang bisa menghibur masyarakat Indonesia? Apakah itu formal? Kurasa tidak” jelas Andi panjang lebar.
            “Aku mengerti, lalu hubungannya?”
            “Begini Baiq! Kalau kamu sudah merasa yakin bahasa itu bagus, bisa dimengerti, ya sudah. Besok kamu kumpulin pas pengiriman”.
            “Tapi kan harus di revisi dulu sama Ibu dan Bapak guru”.
            “Kalau memang bagus, kenapa harus di revisi?” itu tulisanmu, itu pengertianmu, kenapa harus berdasarkan orang lain?” Andi kembali menjelaskan panjang lebar.
Aku mengerunyit menaikkan bahu tanda tak mengerti.
Pelan namun pasti, diam-diam aku mulai tertarik dengan sosok lelaki mata sipit ini. Dia menarik, dan setidaknya aku mulai merasa nyaman dengannya. Dan sepertinya Iapun merasakan hal yang sama, namun ada jarak yang kurasakan antara kami meski hanya dalam penafsiranku saja.
Aku Baiq Dayu januarini, akan menjadi masalah besar seandainya aku pacaran, apalagi menikah dengan golongan biasa. Keluargaku memegang erat adat istiadat kami, maka jika diantara kami menjalin hubungan khusus akan sangat di perhatikan. Padahal setauku mau dari kalangan ningrat atau dari golongan biasa sama saja, karena kami hanya di bedakan atas nama bahasa Tiang, Nggeh, Sampun, Mangkin dan lain sebagainya. Padahal siapapun itu berhak atas bahasa itu, berhak atas pengakuan itu. Karena sesungguhnya aku tak mengerti bagaimana keturunan ningrat itu terlahir atas dasar nama laki-laki. Dan semua itu rasanya tak adil, namun apapun itu, terima tidak terima, inilah bahasa budaya yang tak mungkin untuk kuingkari, bagaimana budaya mencuri gadis menjadi budaya yang dibenarkan padahal hukum Negara budaya ketimuran tak membebaskan pergaulan antara perempuan dan lelaki namun mengapa, sekali lagi budaya mencuri gadis menjadi budaya? Bahkan sesekali kudengar menjadi kebanggan para tetua kami akan adat istiadat mereka.
            Perlahan…. Andi mulai mengerti bahasa tubuhku, iapun mulai menendangkan nada yang sama. Ia mencintaiku.
            Cerita semakin menarik ketika bahasa dan dialektika budaya harus dipaksa menyatu atas nama cinta. Akh boulsit! Bahasa, dialektika, budaya gelar hanyalah sederet kata penting yang tak ingin kugubris, sederet diksi yang ingin kubunuh. Aku tak pernah meminta ningrat menjadi aliran darahku, aku tak ingin duniaku di bedakan atas mereka, maka siapa yang harus kusalahkan? Haruskah kusalahkan nenek buyutku? Atau cabut saja gelar yang tengah kusandang ini. Bq Dayu meremas-remas bantal yang tengah menyatu dengan tubuhnya, ia mulai mengutak atik pena yang tengah lengket dengan tangannya.
            “Akh… kau! Jangan buat aku jadi pembangkang karena sungguh bahasa ningrat ini ingin ku bunuh. Karena bahasa dan gelar ini begitu membuatnya risih lagi menekan padahal ia Nampak sempurna dimataku, apalagi saat ku intip dari bayang-bayang rembulan dan percikan api unggun memberi rona merah keemasan di wajahnya malam itu. Ia tengah melirik manja wajahku, bahkan saat ia harus belepotan mengatur tata bicara sasak halusnya. Aku tersenum bangga, karena ia mau belajar untukku, ia berupaya sempurna di mataku. Lalu… ku katakana kepadanya “Kita tak usah menggunakan bahasa sasak  halus, kita orang Indonesia, dan sudah seharusnya kita berbahasa Indonesia” dan kami tertawa mengakak.

            Ku tutup buku kecil goresan penaku, kurapikan diriku dan,,, kusiapkan tubuhku untuk tidur, karena aku sudah tidak sabar menunggu pagi untuk menatap mata dan bahasa lelaki  itu esok pagi tanpa blepotan, meski sekat tipis masih terurai panjang ketika saatnya nanti aku dan Andi menyatu pada bingkai kasih dan ku relakan gelar ningrat leluhurku akan terhenti di tanganku dan tentu saja pesta nyongkolan ke rumah orang tuaku tak mampu tergelar karena aku telah terbuang dari kastaku dan keturunanku kelak tak berhak atas gelar ibunya. Namun…, aku lega, setidaknya jika ia perempuan kelak, maka ia tak harus mengalami sepertiku, namun jika laki-laki aku hanya butuh menanamkan keberanian itu padanya dan ku yakini ia akan seperti ayahnya yang punya nyali menaklukan Baiq Dayu, Baiq Dayu selanjutnya dan akhirnya aku hanya bisa katakan Thank’s Tuhan. Atas nama perbedaan aku mengerti bagaimana cinta itu, atas nama Baiq kuyakini Ia sungguh menyayangiku, dan erakhir kalinya Thank’s Andi kau ajarkan aku mencintaimu dengan caramu Andi! Ku cintai bahasamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah

Dan ia berkata "Banyak sekali yang membuka mataku belakangan ini. Bagaimana melihat sisi lain dari apa yang kudengar. Bukan sok tau atau apa, hanya saja sesekali memang menjebak harus dilakukan dengan cara yang sangat cerdik. Ini bertujuan hanya untuk tak spontan menuduh atau memvonis sebagaimana karakter  tempramen ala remaja masih saja menempeli. Membangun sinergi lalu mulai memecah beberapa karakter yang tak sesuai dengan sosial dengan cara yang sangat halus. Menuruti, mendekte hingga memaksa sesekali untuk ia hentikan kegilaannya. Merubah pola sok lembut untuk lebih resfect dan mengerti tuntutan kebanyakan. Tak selamanya lembut itu baik namun sesekali berubahlah menjadi monster. Dari sekikan yang kucoba lihat detail kutemukan tentang satu hal yang kurasa masuk akal yaitu kecendrungan-kecendrungan yang harus membuka satu sama lain, baik itu m.                 Intinya tak ada yang bakalan tettap termasuk bagaimana perasaan yang awalnya ingin membunuhmu menjadi kebencia

Motivator termuda no.1 di Indonesia

Syafii Efendi adalah Seorang Trainer dan Motivator yang telah memberikan motivasi di Berbagai Provinsi dan Daerah di Tanah Air, ia telah memberikan motivasi kepada lebih dari 1 juta orang di seluruh Indonesia dimana Mayoritasnya adalah anak muda. Pada usianya yang ke 22 tahun, Syafii Efendi telah berhasil mencetak 1 Milyar Pertama nya. Beliau juga merupakan seorang penulis 4 buku Best seller yang dimana salah satunya Berjudul Better Life with Action “10 Langkah Sukses di Usia Muda”. Dalam pemaparannya juga, Syafii memberikan banyak motivasi kepada para peserta, di antaranya untuk tidak terbuai dengan kebiasaan malas dan galau dalam  kesehariannya, terlebih hal-hal negatif seperti pergaulan bebas dan narkoba. Syafii mengajak para peserta untuk selalu berpikiran positif dalam memandang berbagai hal dan produktif dalam mempergunakan masa mudanya, di antaranya dengan menjadi pengusaha muda yang mandiri, dirintis dari nol melewati banyak proses sampai menjadi pengusaha sukse

VIRAL REAKSI ORANG INI MAKAN JAGUNG

Langsung tonton dah anak asal lombok ini lagi viral sampai  mesir janagan lupa berkomentar ya nih link nya https://www.youtube.com/watch?v=Lu5hD1XQI5k link download https://www.ssyoutube.com/watch?v=Lu5hD1XQI5k